NEGERI TEROR

Juli 26, 2009 at 5:59 pm Tinggalkan komentar

Blar! Blar! Bom meledak di dua tempat dalam waktu nyaris bersamaan. Keduanya memporak-porandakan Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan. Jiwa manusia melayang. Lainnya menanggung luka badan. Juga luka yang tertanam dalam jiwa manusia.

Petinggi negera hiruk pikuk membuat pernyataan. Ada yang sungguh-sungguh berguna, tapi tak kurang pula hanya sebatas kata-kata yang sia-sia. Satu petinggi salah bicara. Lainnya sibuk memberikan klarifikasi.

Semua stasiun televisi menggelar acara perbincangan. Maka opini pun lalu-lalang amat liar. Fakta dan opini bersilangan. Data berbaur dengan teori, dugaan, dan bahkan spekulasi.

Tapi semua kejadian itu seolah ditorehkan pada sebuah kanvas raksasa seorang Salvador Dali. Surealis. Semua tampak nyata. Tapi semua ‘kenyataan’ itu justru mencerabut kenyataan yang sejati.

Semua komentar dan percakapan itu secara sistematik menuturkan sebuah aksi teror di tengah masyarakat yang cinta damai, di negeri yang tata-tentrem kerta raharja. Derajat keterorannya diangkat sedemikian rupa, sehingga hanya bisa dibandingkan dengan aksi teror yang terjadi sebelumnya di tempat yang sama dan juga dengan aksi bom Bali satu dan dua.

Berita itu mengaburkan kenyataan, bahwa negeri ini sungguh penuh dengan teror dari detik ke detik. Hutan dibabat serampangan, dan uangnya mengalir ke luar negeri, secara legal maupun ilegal. Meninggalkan alam yang kersang yang siap menebar bencana kekeringan dan banjir bandang setiap saat. Semua mata air potensial di Pulau Jawa diambil alih oleh swasta, menyisakan masyarakat yang kerontang kekurangan air.

Sopir-sopir angkutan kota dipalak oleh preman-preman terminal, yang bebas berkeliaran, menebar ketidak-berdayaan kepada sopir dan penumpang. Sopir truk lintas pulau Jawa dan lintas Sumatera-Jawa diteror pemalakan oleh preman-preman liar maupun berseragam. Semua terjadi seolah tidak ada penegak hukum di negeri ini.

Petani padi diteror dengan ketidak-menentuan ketersediaan pupuk setiap kali musim tanam tiba. Ketika panen juga dihadang dengan jatuhnya harga gabah. Pada masa di antaranya, petani juga was-was, adakah kekeringan atau banjir atau serangan hama yang mungkin akan meluluh-lantakkan hasil panennya?

Pedagang batik di Tanah Abang, ketika suatu ketika berharap dagangannya akan laku lebih keras, karena kebetulan hari raya telah tiba. Namun tiba-tiba batik dari Cina membanjiri pasar, sehingga memupul batik-batik lokal. Celakanya, konon itu adalah batik selundupan.

Gula impor tiba ketika panen tebu sedang berlangsung, yang langsung menekan harga gula lokal. Hal serupa juga terjadi pada petani garam.

Semua itu adalah teror, yang setiap hari memukul kulit, daging, dan hati masyarakat. Bertubi-tubi. Sistematik. Sehingga merasakan semua itu bukan sebagai sebuah ‘ketidak-adilan’ tapi lebih mirip dengan sebuah ‘takdir’.

Teror-teror itu hanya mungkin terjadi pada sebuah negeri, yang negaranya tak mampu menegakkan good governance dan law enforcement. Pada sebuah negara yang rakyatnya tertindas ketidak-adilan dalam waktu yang lama. Yang rakyatnya sudah apatis dan telah mati sensor hatinya.

Teror Mega Kuningan itu sungguh jahat, karena telah menistakan nilai kemanusiaan. Dan lebih jahat lagi, karena menghilangkan kesadaran kolektif bahwa kehidupan masyarakat sehari-hari itu memang sudah penuh dengan teror. [Djuhendi Tadjudin]

Entry filed under: Inspirasi, Opini.

TERI MEDAN ROBOHNYA MODAL SOSIAL

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Kalender

Juli 2009
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Most Recent Posts