GOOD TRANSPORTATION GOVERNANCE

Mei 18, 2009 at 1:32 pm Tinggalkan komentar

Apa ciri khas Jakarta? Main golf sambil selingkuh? Bukan, itu terlalu mengada-ada. Monas? Ya, landmark itu hanya ada di Jakarta. Tapi yang paling menonjol adalah kemacetan lalu-lintas, dan ketidak-nyamanan berlalu-lalang di Jakarta.

Suatu ketika, Fauzi Bowo, gubernur Jakarta, bicara transportasi Jakarta di televisi. Dengan cerkas diungkapkannya segala ukuran-ukuran kuantitatif bidang transportasi. Persentase ruang yang digunakan untuk jalan raya, ratio jumlah kendaraan dengan panjang jalan, dan sebagainya. Semua meluncur mulus, agaknya angka-angka itu sudah dihafalnya di luar kepala.

Indikator-indikator itu menunjukkan adanya ‘yang keliru’ dengan kondisi pertransportan di Jakarta. Agaknya, itu juga representasi yang luar biasa bagus untuk menggambarkan kondisi transportasi di Indonesia.

Atas dasar semua itu, Fauzi Bowo mengungkapkan perlunya reformasi dalam bidang transportasi. Hal yang pertama yang menjadi sasaran tembak adalah pemakai kendaraan pribadi. “Akan melanjutkan pembatasan penggunaan pribadi,” begitu kira-kira, “…karena moda transportasi inilah yang paling menonjol di Jakarta.”

Para pemakai kendaraan pribadi, sungguh sudi dituding sebagai biang keladi keruwetan lalu-lintas di Jakarta. Asal tudingan itu benar-benar menukik pada ‘pendosa yang sesungguhnya’. Asal itu bisa menyembuhkan penyakit yang sesungguhnya.

Tapi dari sisi manajemen, sikap seperti itu berangkat dari sebuah pendekatan manajemen ‘yang serba defisit’, yaitu berangkat dari masalah-masalah yang disimpulkan secara amat subyektif. Sehingga kerap menghasilkan solusi yang keliru. Mirip borok yang diobati dengan salep, dan tidak sembuh-sembuh. Ternyata borok itu sebagai efek samping dari diabetes.

Dalam obrolan warung kopi, kawan-kawan mengusulkan sebuah langkah reformatif, yang disebutnya sebagai good transportation governance. Kemudian mereka sodorkan sebuah pendekatan yang lebih apresiatif: Bagaimana transportasi dikelola untuk memuaskan penggunanya?

Pertama, jika benar moda transportasi massa itu merupakan solusi optimal, maka harus ada insentif agar orang-orang menggunakan moda itu dengan suka-hati. Bus ekonomi, mikrolet, dan angkot harus nyaman dan aman. Seperti Bangkok yang bisa menyajikan ‘bajaj’ yang sangat bersih bertarif murah.

Kedua, segala hal yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi bisnis transportasi, harus dibersihkan. Tilang-tilang yang tidak perlu, preman timer di terminal dan titik-titik pelintasan tertentu, dan mark-up pengadaan kendaraan harus diberantas. “Saya suka malu, negara cap apa Indonesia ini, memberantas preman tukang palak saja kok tidak mampu?” kata seorang kawan.

Ketiga, polisi lalu-lintas tidak perlu punya mata melotot, jelalatan mencari pelanggar lalu-lintas. Mereka tidak perlu mencari kesalahan, dan menghukumnya dengan model ‘main hakim sendiri’ hanya untuk keuntungan pribadi. Sesungguhnya, polisi itu ada untuk menegakkan kedisiplinan pengguna kendaraan. Memberikan edukasi bagi yang tidak tahu. Misal, ketika orang ragu di sebuah persimpangan, karena tidak melihat tanda apakah boleh jalan terus atau harus menunggu lampu hijau menyala. Maka polisi hanya perlu menyuruh orang itu untuk lekas belok kiri (bila belok kiri boleh jalan terus), tidak perlu menyetop dan menilangnya. Tapi pada saat yang sama, harus menindak tegas para pelanggar lalu-lintas yang ‘lebih berat’, misal jika rakyat biasa ditilang karena menggunakan jalur bus-way, maka anggota DPR pun (juga mobil yang memasang atribut polisi atau militer) harus ditilang jika melakukan kesalahan yang sama.

Intinya, seluruh jajaran terkait dengan urusan lalu-lintas, melakukan proses edukasi dan mendorong para pengguna kendaraan untuk menjadi pelalu-lintas yang baik. Tunjukkan betapa banyaknya jalan yang benar, ketimbang hanya memuaskan libido penghukuman kepada para pelanggar. (Sebuah penghukuman, tentu saja, tetap harus dijalankan; tapi ditempatkan sebagai salah satu bagian dari proses edukasi).

Jika itu yang dimaksud dengan good transportation governance, maka jangan-jangan penegakannya bukan dimulai dari pengguna kendaraan pribadi. Tapi harus benar-benar dimulai dari kantor gubernur, kantor walikota, dan kantor-kantor polisi lalu-lintas. [Djuhendi Tadjudin].

Entry filed under: Opini, Perubahan. Tags: , , , , , .

BUAH DURIAN KUSAM DI GERBANG DUNIA

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Kalender

Mei 2009
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Most Recent Posts